arnews – Badan Kesehatan Dunia (WHO) meneukan kasus cacar monyet strain terbaru di Kongo yang bernama clade 1B. Mutan virus terbaru inni disebut sebagai turunan dari strain Clade 1 Mpox dan lebih mematikan.
Dilansir dari The Telegraph, virus cacar monyet strain baru clade 1B itu bermutasi di Kamitugas, sebuah kota pertambangan emas di Kongo yanng miskin dan padat penduduk, lokasinya juga hanya 170 mil dari perbatasan Rwanda.
Virus hasil mutasi ini disebut menyebar dengan cepat, terutama melalui kontak seksual. Selain itu Clade 1B sedikit lebih sulit dideteksi oelh beberapa alat tes yang tersedia saat ini.
“Tanpa intervensi, wabah Kamitugas yang terlokalisasi ini mempunyai potensi menyebar secara nasional dan internasional,” kata para penulis di hasil penelitian cacar monyet baru yang ditemukan WHO.
“Mengingat sejarah wabah mpox baru-baru ini di Kongo, kami menganjurkan tindkan lebih cepat oleh negara-negara endemik dan komunitas internasinal untuk mencegah wabah mpox global lainnya,” tulis mereka.
Wabah di Kamituga yang digambarkan memiliki “potensi pandemi”, menimbulkan pertanyaan yang menakutkan: virus ini tidak hanya belum pernah dilaporkan di wilayah tersebut, tapi virus ini menyebar di pusat perkotaan dan sebagian besar menginfeksi orang dewasa, terutama yang berhubungan seks.
Dilansir The Daily Mail, sejauh ini para peneliti menduga telah ada 108 kasus strain baru mpox tersebut. Dari angka tersebut, terdeteksi telah terjadi dua kematian akibat virus ini.
Para peneliti yang merinci virus ini khawatir populasi di Kamituga yang memang suka berpindah-pindah justru bisa menjadi tempat berkembang biak sempurna bagi virus baru ini.
Penambang dan pekerja seks sering berpergian ke dan dari kota untuk bekerja dari negara tetangga seperti Rwanda dan Burundi. Dan banyak orang dengan gejala mpoxs tidak melakukan perawatan apapun dan tetap berkumpul dengan masyarakat seperti orang sehat lainnya, kata para peneliti.
Cacar monyet baru yang ditemukan WHO ini penelitiannya dipimpin oleh para ilmuwan Kongo yang bekerja sama dengan para ahli di Afrika, Eropa, Amerika Serikat, dan Kanada.
Temuan ini dibahas oleh para menteri kesehatan dari 12 negara pada pertammuan yang diadakan oleh Pusat Pengendalian Penyakit Afrika pekan lalu.